Subscribe:

Jumat, 24 Februari 2012

Bentuk Uang Dalam Ekonomi Islam

Perdebatan tentang bentuk uang dikalangan ekonom muslim saat ini adalah tentang apakah uang harus benar-benar terbuat dari emas dan perak? Ataukah dapat berbentuk benda lain? Atau dapat menggunakan uang kertas yang ada saat ini dengan beberapa penyesuaian?
Dalam buku fikih ekonomi Umar bin khattab RA terdapat riwayat yang menunjukan bahwa uang adalah segala sesuatu yang dikenal dan dijadikan sebagai alat pembayaran dalam hubungan mu’amalah diantara mereka. Suatu ketika Umar bin khattab RA berkata, “Aku ingin menjadikan dirham dari kulit unta”. Lalu dikatakan kepadanya, “Jika demikian, maka unta akan habis”. Lalu kemudian ia menahan diri.[1]
Hal ini berarti seorang pemimpin umat Islam dapat menentukan jenis dan bentuk uang selama dapat merealisasikan kemaslahatan, adil, dan tidak menyalahi hukum syariat. Al-Haritsi kemudian mengumpulkan berbagai pendapat para ahli fikih tentang uang dalam Islam, yang terbagi dalam dua kelompok besar yaitu:
  1. Kelompok yang mengatakan bahwa uang adalah bentuk penciptaan dan hanya terbatas pada dinar (emas) dan dirham (perak) yang dicetak sebagai mata uang. Mereka berpendapat bahwa Allah SWT telah menciptakan emas dan perak untuk menjadi dua mata uang paling adil bagi manusia. Al Ghazali berkata dalam Ihya Ulumuddin, “Diantara nikmat Allah SWT adalah penciptaan dinar dan dirham, dan dengan keduanya tegaklah dunia. Keduanya adalah batu yang tiada manfaat dalam jenisnya, tetapi manusia sangat memerlukan keduanya”.
  2. Kelompok yang sepakat dengan substansi riwayat tentang Umar bin al-khattab RA seperti disebutkan sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa uang adalah masalah terminology. Maka segala sesuatu yang dalam terminology manusia dan diterima di antara mereka sebagai tolok ukur nilai, maka dia disebut uang. Imam Malik berkata, “Jika manusia membolehkan diantara mereka kulit hingga menjadi cek dan mata uang, niscaya aku memakruhkannya jika dijual dengan emas dan perak karena adanya kesamaan nilai”. Imam Ahmad juga berkata ketika ditanya tentang pendapatnya atas penggunaan uang dari bahan tembaga, “jika dia merupakan sesuatu yang disebut dalam terminology mereka sebagai uang, seperti fulus, maka aku berharap yang demikian itu tidaklah mengapa”.

Ulama Syafi’I, Maliki dan Hambali telah mengemukakan illat (sebab) yang sama tentang riba pada Emas dan Perak, yaitu ghalabat al-tsamaniyah, maksudnya adalah moneter /uang tersebut telah menjadi moneter/uang pokok, yang memiliki sifat uang di pasar. Dalam hal ini, mata uang kertas serupa dengan dinar emas dan dirham perak, sebab mata uang kertas telah menjadi mata uang pokok. Oleh karena itu, maka hukum yang berlaku pada dinar emas dan dirham perak berlaku pula untuk mata uang kertas (Hasan, 2004).
Selain itu, jika kita telisik lebih dalam, dari enam komoditi ribawi dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri r.a., 4 (gandum, tepung, kurma, dan garam) jenis barang riba yang disebutkan adalah barang pangan, sedangkan substansi dari emas dan perak adalah nilai yang akui oleh pasar. Maka jika uang kertas telah diakui oleh pasar, maka ia termasuk dalam kategori emas dan perak tersebut. Dengan kata lain, menurut pendapat para ulama, yang dimaksud dengan emas dan perak adalah arti yang lebih luas, yaitu segala sesuatu yang memiliki nilai dan telah menjadi mata uang yang diterima oleh pasar.
Saya pribadi berpendapat bahwa bentuk uang bukanlah persoalan utama selama pemerintah telah menetapkannya sebagai alat tukar dan nilai yang berlaku untuk pasar, akan tetapi yang menjadi perhatian utama untuk segera dibetulkan adalah sistem yang mengatur proses penciptaan dan sirkulasi uang tersebut.  Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar

Pasang Link Kamu Disini!!!